Di suatu sore yang mulai pudar karena tahu diri pada kekuasaan malam yang sebentar lagi akan mempoles kota New Delhi.
Hati ini penuh kecemasan berkolaborasi dengan deguban jantung yang tak kalah heboh dengan ritme langkah yang berkoneksi bersama bola mata sambil sibuk mencari sebuah papan bertuliskan Basty Nizamuddin.
Kalut. Bingung. Kacau. Haru. Gelisah. Ya, ini perasaan ajaib. Berbeda dengan perasaan saya sebelum ini. Dimana awalnya saya bahagia, sungguh menanti datangnya hari ini. Tapi, ketika waktu yang dinanti segera datang. Tiba2 keinginan untuk menerima kenyataan sirna. Saya tidak mau ini benar terjadi. Bila perlu, saya ingin semua berada diimajinasi terbaik saya. Tuhan, begitu hebatnya kau membolak balikkan perasaan manusia dalam sekejab.
18.24. Basty Nizamuddin.
Jiwa ini terpaku. Menatap lekat-lekat sebuah papan berukuran 30x50cm. Penasaran nyaris 7 tahun tertuntaskan saat ini. Inilah yang selama ini saya harapkan kembali. Inilah yang selalu saya ajak bersenda gurau dikala raga saya tertidur. Inilah yang selalu membantu saya dalam memutuskan suatu hal secara batin. Inilah yang selalu mendongengkan saya tentang cerita keluarga terbaik di syurga. Inilah alasan saya berdiri disini sekarang. Inilah cara Tuhan untuk menguji dan mungkin menaikkan derajat saya.
Bapak, anis datang pak. Tidak membawa apa-apa selain air mata yang lebat. Maaf, jika anis begitu rapuh, karena berapa banyakpun peristiwa tak kan pernah cukup untuk menghapus kenangan kita. Ya, 7 tahun pak, anakmu ini berdiri disini dengan harapan menjemputmu kembali ke Pontianak selayaknya hidup normal. Namun, sepertinya saya hanya bisa membawa pulang sekepal tanah. Apalah arti tanah ini, jika wujudmu tak tampak. Memilukan memang, kau ada tapi tak terlihat. Tuhan memang luar biasa menciptakan rindu terhadapmu, Pak.
19.00. Perjalanan New Delhi - Agra
Dada ini sesak. Susah mencerna kenyataan yang barusan terlihat. Selama ini anggapan yang terpatri dibenak saya lenyap sudah. Anggapan yang selalu menenangkan hati saya disaat air mata ini berebutan untuk mengeksiskan diri mereka di tanah bumi. Anggapan yang konyol tapi selalu sukses membuat saya tersenyum. Anggapan yang saya setting sedemikian rapi untuk meyakinkan diri saya bahwa tidak terjadi apa-apa. Ya sebelum sore tadi saya selalu beranggapan bahwa bapak saya pergi ke India untuk waktu yang lama dan suatu saat akan mengetok pintu rumah sambil memanggil nama saya sembari memberikan pelukkan terhangatnya untuk saya.
Sekarang semua jelas, sudah tidak ada lagi anggapan sempurna itu, karena tulisan di nisan sudah berhasil mengobrak abrik hati dan jiwa yang selalu beranggapan. Tuhan, masih banyakkah persediaan air mata untuk diri ini? tolong bantu saya menata hati (lagi)
Hati ini penuh kecemasan berkolaborasi dengan deguban jantung yang tak kalah heboh dengan ritme langkah yang berkoneksi bersama bola mata sambil sibuk mencari sebuah papan bertuliskan Basty Nizamuddin.
Kalut. Bingung. Kacau. Haru. Gelisah. Ya, ini perasaan ajaib. Berbeda dengan perasaan saya sebelum ini. Dimana awalnya saya bahagia, sungguh menanti datangnya hari ini. Tapi, ketika waktu yang dinanti segera datang. Tiba2 keinginan untuk menerima kenyataan sirna. Saya tidak mau ini benar terjadi. Bila perlu, saya ingin semua berada diimajinasi terbaik saya. Tuhan, begitu hebatnya kau membolak balikkan perasaan manusia dalam sekejab.
18.24. Basty Nizamuddin.
Jiwa ini terpaku. Menatap lekat-lekat sebuah papan berukuran 30x50cm. Penasaran nyaris 7 tahun tertuntaskan saat ini. Inilah yang selama ini saya harapkan kembali. Inilah yang selalu saya ajak bersenda gurau dikala raga saya tertidur. Inilah yang selalu membantu saya dalam memutuskan suatu hal secara batin. Inilah yang selalu mendongengkan saya tentang cerita keluarga terbaik di syurga. Inilah alasan saya berdiri disini sekarang. Inilah cara Tuhan untuk menguji dan mungkin menaikkan derajat saya.
Bapak, anis datang pak. Tidak membawa apa-apa selain air mata yang lebat. Maaf, jika anis begitu rapuh, karena berapa banyakpun peristiwa tak kan pernah cukup untuk menghapus kenangan kita. Ya, 7 tahun pak, anakmu ini berdiri disini dengan harapan menjemputmu kembali ke Pontianak selayaknya hidup normal. Namun, sepertinya saya hanya bisa membawa pulang sekepal tanah. Apalah arti tanah ini, jika wujudmu tak tampak. Memilukan memang, kau ada tapi tak terlihat. Tuhan memang luar biasa menciptakan rindu terhadapmu, Pak.
19.00. Perjalanan New Delhi - Agra
Dada ini sesak. Susah mencerna kenyataan yang barusan terlihat. Selama ini anggapan yang terpatri dibenak saya lenyap sudah. Anggapan yang selalu menenangkan hati saya disaat air mata ini berebutan untuk mengeksiskan diri mereka di tanah bumi. Anggapan yang konyol tapi selalu sukses membuat saya tersenyum. Anggapan yang saya setting sedemikian rapi untuk meyakinkan diri saya bahwa tidak terjadi apa-apa. Ya sebelum sore tadi saya selalu beranggapan bahwa bapak saya pergi ke India untuk waktu yang lama dan suatu saat akan mengetok pintu rumah sambil memanggil nama saya sembari memberikan pelukkan terhangatnya untuk saya.
Sekarang semua jelas, sudah tidak ada lagi anggapan sempurna itu, karena tulisan di nisan sudah berhasil mengobrak abrik hati dan jiwa yang selalu beranggapan. Tuhan, masih banyakkah persediaan air mata untuk diri ini? tolong bantu saya menata hati (lagi)
0 komentar:
Posting Komentar